Kampung Adat Cireudeu
Kota Cimahi bagi sebagian wisatawan sering dijadikan sebagai daerah lintasan dari satu kota ke kota lain karena memang disini tak nampak tempat persimpangan untuk berwisata alam, dll. Dan dengan jumlah penduduknya yang cukup padat dan wilayah kecil dan tidak memiliki tempat wisata alam ini ternyata memliki keunikan tersendiri. Tak lain Adalah suatu perkampungan, tepatnya kampung adat Cireundeu secara administratif terletak di kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi Selatan.
Cireundeu adalah sebuah kampung yang terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu Dimana warga tersebut sangat memegang erat adat Sunda Karuhun yang masih tetap dilestarikon hingga sekarang.
Mayoritas masyarakat Cireunde masih menjalankan ajaran Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan dan menggelar upacara Saka 1 Sura secara rutin, serta kebiasaan masyarakat Cireundeu yang tidak pernah makan nasi dari beras. Sebagai gantinya mereka menjadikan singkong yang diolah menjadi butiran sebagai makanan pokok sehari-hari.
Hal ini menjadikan kampong Cireudeu sederajat dengan kampung adat lain seperti Kasepuhan Cipta Gelar (Banten Kidul, Sukabumi), Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), dan lainnya.
Disebutkan oleh Seorang Antropolog Belanda, bahwa ajaran Madrais dengan sebutan Agama Djawa Sunda (ADS). Yakni kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Termasuk juga di Cireundeu. Agama ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.
turut juga, seorang peneliti kepercayaan Sunda, Abdul Rozak yang menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun. Yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dan daerah lainnya.
Madrais dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, yang merupakan keturunan dari Kasultanan Gebang, di wilayah Cirebon Timur. Beliau dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Beliau mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam. dan kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda
Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan Gebang, Madrais atau biasa dipanggil Kiai Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Di deerah itu pula ajaran kiai Madrais turut disebarkannya.
Dari Cigugur, Madrais ditangkap dan dibuang ke Ternate oleh pemerintah Belanda. Ia baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya. Menurut Abah Emen, asal muasal ajaran Madrais berkembang di Cireundeu ini setelah pertemuan kakeknya Abah Emen yakni H. Ali dengan Pangeran Madrais tahun 1930-an. Dan pada tahun 1938, Pangeran Madrais berkunjung ke Cireundeu dan sempat menetap beserta ajarannya.
Lebarannya kampong Cireundeu
Dalam tradisi Jawa Tahun baru Saka yang dikenal dengan 1 Sura atau 1 Suro yang bertepatan dengan tahun baru Islam 1 Muharam. Karena tahun tersebut sama menggunakan penanggalan lunar atau memakai patokan peredaran bulan. yang resmi dipakai sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram, menggantikan Saka Hindu.bagi warga Cireundeu, ibarat hari Lebaran. Saat upacara adat, kaum lelaki mengenakan pakaian pangsi warna hitam, sementara kaum perempuan mengenakan kebaya atau pakaian warna putih. Gunungan sesajen, berupa buah-buahan dan nasi singkong, tersaji di tengah ririungan (kumpulan) warga di Balai Adat. Warga terpekur mendengarkan wejangan dari sesepuh Kampung Cireundeu, saat ini Adalah Abah Emen Sunarya.
Menurut Abah Emen, ritual 1 Sura merupakan salah satu simbol dari falsafah. Upacara suraan, biasa warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, dan tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan,”
0 Response to "Kampung Adat Cireudeu"
Posting Komentar
hallo agan, silahkan berkometar secara bijak dan santun